Friday, December 16, 2011

Bolehkah Ayah Paksa Anak Gadisnya Menikah ?



Ada sebuah artikel yang membahas bahwa akad nikah itu bukan akad antara pasangan yang akan menikah, melainkan antara pihak laki-laki (calon suami) dan ayah atau wali dari pihak perempuan (calon istri).


 Bagaimana kalo seorang ayah menikahkan anak gadisnya dengan laki'' yang tidak disukai oleh si gadis itu ? Apa tetap boleh dan sah akad nikahnya?




Jawaban


Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh

 

Dalam pernikahan, persetujuan dari tiap yang terlibat didalamnya adalah diperlukan, baik dari pihak calon suami, wali dari calon istri dan juga dari calon istri itu sendiri. Sehingga tidak ada seorangpun yang dapat memaksa salah satu pihak untuk melakukan suatu akad yang tidak diridhainya.

Memang benar bahwa akad nikah itu adalah akad yang dilakukan oleh seorang laki-laki dan ayah atau wali dari perempuan yang dilamarnya berikut 2 saksi laki-laki yang diyakini sifat adilnya. Tapi itu tidak berarti bahwa seorang ayah atau wali dari si gadis boleh memaksakan kehendak anak gadisnya untuk menikah dengan laki-laki yang tidak dia sukai.


Mari kita simak dalil-dalil berikut:


1.
Hadits:

لاتنكح الأيم حتى تستأمر ولا تنكح البكر حتي تستأذن. قالو يا رسول الله كيف إذنها؟ قال: أن تسكت , وفى لفظ أخر قال: إذنها صماتها,وفي اللفظ الثالث: والبكر يستأذنها أبوها وإذنها سكوتها.



Artinya:

"Wanita janda tidak boleh dinikahkan sebelum dimintai pendapat, dan wanita gadis tidak boleh dinikahkan sebelum dimintai izin darinya". Para sahabat bertanya, ‘Ya Rasulullah, bagaimana izinnya ?` Beliau menjawab : "Ia diam”. Di dalam riwayat lain beliau bersabda: “Dan izinnya adalah diamnya”.

Sedangkan dalam lafadz ketiga beliau bersabda: "Dan perempuan gadis itu dimintai izin oleh ayahnya mengenai dirinya, dan izinnya adalah diamnya”.
[HR. Bukhari dan Muslim]

2.
Hadits lain:

Dari Aisyah RA, ia berkata, Rasulullah bersabda
"wanita gadis itu dimintai izinnya (jika mau menikahkanya)". Aku berkata, “Sesungguhnya wanita gadis itu bisa dimintai izin tetapi ia pemalu. Nabi menjawab, “Izinnya adalah diamnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

3.
Hadits lainnya:

Dari Ibnu Abbas RA:
Sesungguhnya ada seorang wanita (gadis) datang kepada Rasulullah kemudian menceritakan bahwa ayahnya telah menikahkan dia, tetapi dia tidak suka (pernikahan itu), maka Nabi SAW menyuruh dia untuk memilih (melanjutkan dilangsungkannya pernikahan itu atau tidak).” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)

Hadits-hadits diatas secara eksplisit menyebutkan bahwa seorang ayah harus meminta persetujuan anak gadisnya terlebih dulu sebelum memutuskan untuk menikahkannya dengan seorang laki-laki. Maka, seorang ayah tidak bisa memaksa puterinya untuk menikah dengan laki-laki yang tidak disukai. Karena syariah memberikan hak pada seorang perempuan (baik gadis maupun janda) untuk menerima atau menolak sebuah pinangan.


Menikahkan Gadis yang Belum Baligh


Ada satu pengecualian dimana seorang anak perempuan yang belum baligh dinikahkan oleh ayahnya dengan seorang laki-laki tanpa persetujuan anak tersebut. Hukum akad nikahnya tetap sah. Akan tetapi setelah anak perempuan itu baligh dan bisa berfikir dengan baik ia berhak meminta
fasakh (pembatalan pernikahannya).

Pada zaman Rasulullah SAW ada seorang pemudi yang dipaksa menikah dengan orang yang tidak ia sukai. Setelah menikah, ia datang kepada Rasulullah SAW serta berkata kepada beliau:


"Wahai Rasulullah ! Sesungguhnya ayahku menikahkanku dengan seorang lelaki yang aku tidak suka dengan tujuan untuk mengangkat derajat dan martabatnya”.
Kemudian Rasulullah SAW membatalkan nikahnya.

Karena itu, seorang wali tidak berhak (tidak diperbolehkan) memaksakan puterinya menikah bagaimanapun keadaan puterinya, apakah dia sudah layak menikah, janda karena ditalak atau janda karena ditinggal mati suaminya.


Penutup

 

Syariah memberikan hak pada seorang ayah untuk menyetujui atau tidaknya ajuan dari seorang laki-laki yang datang melamar puterinya. Namun puterinya juga berhak menolak atau menerima sebuah pinangan, baik itu pinangan yang datang kepadanya langsung, ataupun tawaran dari ayahnya atau walinya.

Sebagaimana yang kita ketahui bahwa pernikahan adalah sesuatu yang sakral dimana ia merupakan satu tahapan hidup yang berbeda dengan masa dimana saat seseorang masih lajang. Untuk itulah mengapa syariah Islam mengatur adab-adab dan persyaratan yang demikian adanya dalam memulai tahapan dalam memulai sebuah pernikahan.


Wallahu a`lam bishshowab
Wassalamualaikum warahmatullah wabarakatuh

Aini Aryani, LLB (Hons)

No comments:

Post a Comment